Sajak Kecil Tentang Cinta
Mencintai angin harus menjadi siut
Mencintai air harus menjadi ricik
Mencintai gunung harus menjadi terjal
Mencintai api harus menjadi jilat
Mencintai cakrawala harus menebas jarak
Mencintaimu, harus menjadi aku
Maka Pada Suatu Pagi Hari
Maka pada suatu pagi hari ia ingin sekali
menangis sambil berjalan tunduk sepanjang lorong itu
Dia ingin pagi itu hujan turun rintik-rintik
dan lorong sepi agar ia bisa berjalan sendiri saja
sambil menangis dan tak ada orang bertanya kenapa
Dia tidak ingin menjerit-jerit berteriak-teriak mengamuk
memecahkan cermin, membakar tempat tidur
Dia hanya ingin menangis lirih saja
sambil berjalan sendiri dalam hujan rintik-rintik di lorong sepi pada suatu pagi.
Pada suatu pagi.
Aku ingin
Aku ingin mencintaimu dengan sederhana
dengan kata yang tak sempat diucapkan
kayu kepada api yang menjadikannya abu
Aku ingin mencintaimu dengan sederhana
dengan isyarat yang tak sempat disampaikan
awan kepada hujan yang menjadikannya tiada
Pada Suatu Hari Nanti
Pada suatu hari nanti
Jasadku tak akan ada lagi
Tapi dalam bait-bait sajak ini
Kau takkan kurelakan sendiri,
Pada suatu hari nanti
Suaraku tak terdengar lagi
Tapi di antara lirik-lirik sajak ini
Kau akan tetap kusiasati
Pada suatu hari nanti
Impiankupun tak dikenal lagi
Namun di sela-sela huruf sajak ini
Kau takkan letih-letihnya kucari
Nocturno
Kubiarkan cahaya bintang memilikimu
kubiarkan angin yang pucat
dan tak habis-habisnya gelisah
tiba-tiba menjelma isyarat merebutmu
entah kapankah bisa kutangkap
Yang Fana adalah Waktu
Yang fana adalah waktu. Kita abadi:
memungut detik demi detik, merangkainya seperti bunga
sampai pada suatu hari
kita lupa untuk apa,
“Tapi yang fana adalah waktu, bukan?”
tanyamu.
Kita abadi.
Dalam Diriku
Dalam diriku mengalir sungai panjang,
darah namanya;
Dalam diriku menggenang telaga darah,
sukma namanya;
Dalam diriku meriak gelombang sukma,
hidup namanya;
Dan karena hidup itu indah,
aku menangis sepuas-puasnya
Hujan Bulan Juni
Tak ada yang lebih tabah dari hujan bulan Juni
Dirahasiakannya rintik rindunya
Kepada pohon berbunga itu
Tak ada yang lebih bijak dari hujan bulan Juni
Dihapusnya jejak-jejak kakinya
Yang ragu-ragu di jalan itu
Tak ada yang lebih arif dari hujan bulan Juni
Dibiarkannya yang tak terucapkan
Diserap akar pohon bunga itu
Kolam di Pekarangan
/1/
Daun yang membusuk di dasar kolam itu masih juga tengadah ke ranting pohon jeruk yang dulu melahirkannya. Ia ingin sekali bisa merindukannya. Tak akan dilupakannya hari itu menjelang subuh hujan terbawa angin memutarnya pelahan, melepasnya dari ranting yang dibebani begitu banyak daun yang terus-menerus berusaha untuk tidak bergoyang. Ia tak sempat lagi menyaksikan matahari yang senantiasa hilang-tampak di sela-sela rimbunan yang kalau siang diharapkan lumut yang membungkus batu-batu dan menempel di dinding kolam itu. Ada sesuatu yang dirasakannya hilang di hari pertama ia terbaring di kolam itu, ada lembab angin yang tidak akan bisa dirasakannya lagi di dalam kepungan air yang berjanji akan membusukkannya segera setelah zat yang dikandungnya meresap ke pori-porinya. Ada gigil matahari yang tidak akan bisa dihayatinya lagi yang berkas-berkas sinarnya suka menyentuh-nyentuhkan hangatnya pada ranting yang hanya berbisik jika angin lewat tanpa mengatakan apa-apa. Zat itu bukan angin. Zat itu bukan cahaya matahari. Zat itu menyebabkannya menyerah saja pada air yang tak pernah bisa berhenti bergerak karena ikan-ikan yang di kolam itu diperingatkan entah oleh Siapa dulu ketika waktu masih sangat purba untuk tidak pernah tidur. Ia pun bergoyang ke sana ke mari di atas hamparan batu kerikil yang mengalasi kolam itu. Tak pernah terbayangkan olehnya bertanya kepada batu kerikil mengapa kamu selalu memejamkan mata. Ia berharap bisa mengenal satu demi satu kerikil itu sebelum sepenuhnya membusuk dan menjadi satu dengan air seperti daun-daun lain yang lebih dahulu jatuh ke kolam itu. Ia tidak suka membayangkan daun lain yang kebetulan jatuh di kaki pohon itu, membusuk dan menjadi pupuk, kalau kebetulan luput dari sapu si tukang kebun.
Daun yang membusuk di dasar kolam itu masih juga tengadah ke ranting pohon jeruk yang dulu melahirkannya. Ia ingin sekali bisa merindukannya. Tak akan dilupakannya hari itu menjelang subuh hujan terbawa angin memutarnya pelahan, melepasnya dari ranting yang dibebani begitu banyak daun yang terus-menerus berusaha untuk tidak bergoyang. Ia tak sempat lagi menyaksikan matahari yang senantiasa hilang-tampak di sela-sela rimbunan yang kalau siang diharapkan lumut yang membungkus batu-batu dan menempel di dinding kolam itu. Ada sesuatu yang dirasakannya hilang di hari pertama ia terbaring di kolam itu, ada lembab angin yang tidak akan bisa dirasakannya lagi di dalam kepungan air yang berjanji akan membusukkannya segera setelah zat yang dikandungnya meresap ke pori-porinya. Ada gigil matahari yang tidak akan bisa dihayatinya lagi yang berkas-berkas sinarnya suka menyentuh-nyentuhkan hangatnya pada ranting yang hanya berbisik jika angin lewat tanpa mengatakan apa-apa. Zat itu bukan angin. Zat itu bukan cahaya matahari. Zat itu menyebabkannya menyerah saja pada air yang tak pernah bisa berhenti bergerak karena ikan-ikan yang di kolam itu diperingatkan entah oleh Siapa dulu ketika waktu masih sangat purba untuk tidak pernah tidur. Ia pun bergoyang ke sana ke mari di atas hamparan batu kerikil yang mengalasi kolam itu. Tak pernah terbayangkan olehnya bertanya kepada batu kerikil mengapa kamu selalu memejamkan mata. Ia berharap bisa mengenal satu demi satu kerikil itu sebelum sepenuhnya membusuk dan menjadi satu dengan air seperti daun-daun lain yang lebih dahulu jatuh ke kolam itu. Ia tidak suka membayangkan daun lain yang kebetulan jatuh di kaki pohon itu, membusuk dan menjadi pupuk, kalau kebetulan luput dari sapu si tukang kebun.
Ia ingin sekali bisa merindukan ranting pohon jeruk itu.
Ingin sekali bisa merindukan dirinya sebagai kuncup.
/2/
Ikan tidak pernah merasa terganggu setiap kali ada daun jatuh ke kolam, ia memahami bahwa air kolam tidak berhak mengeluh tentang apa saja yang jatuh di dalamnya. Air kolam, dunianya itu. Ia merasa bahagia ada sebatang pohon jeruk yang tumbuh di pinggir kolam itu yang rimbunannya selalu ditafsirkannya sebagai anugerah karena melindunginya dari matahari yang wataknya sulit ditebak. Ia senang bisa bergerak mengelilingi kolam itu sambil sesekali menyambar lumut yang terjurai kalau beberapa hari lamanya si empunya rumah lupa menebarkan makanan. Mungkin karena tidak bisa berbuat lain, mungkin karena tidak akan pernah bisa memahami betapa menggetarkannya melawan arus sungai atau terjun dari ketinggian, mungkin karena tidak pernah merasakan godaan umpan yang dikaitkan di ujung pancing. Ia tahu ada daun jatuh, ia tahu daun itu akan membusuk dan bersenyawa dengan dunia yang membebaskannya bergerak ke sana ke mari, ia tahu bahwa daun itu tidak akan bisa bergerak kecuali kalau air digoyang-goyangnya. Tidak pernah dikatakannya Jangan ikut bergerak tinggal saja di pojok kolam itu sampai zat entah apa itu membusukkanmu. Ikan tidak pernah percaya bahwa kolam itu dibuat khusus untuk dirinya oleh sebab itu apa pun bisa saja berada di situ dan bergoyang-goyang seirama dengan gerak air yang disibakkannya yang tak pernah peduli ia meluncur ke mana pun. Air tidak punya pintu.
Kadangkala ia merasa telah melewati pintu demi pintu.
Merasa lega telah meninggalkan suatu tempat dan tidak hanya tetap berada di situ.
/3/
Air kolam adalah jendela yang suka menengadah menunggu kalau-kalau matahari berkelebat lewat di sela rimbunan dan dengan cerdik menembusnya karena lumut merindukannya. Air tanpa lumut? Air, matahari, lumut. Ia tahu bahwa dirinya mengandung zat yang membusukkan daun dan menumbuhkan lumut, ia juga tahu bahwa langit tempat matahari berputar itu berada jauh di luar luar luar sana, ia bahkan tahu bahwa dongeng tentang daun, ikan, dan lumut yang pernah berziarah ke jauh sana itu tak lain siratan dari rasa gamang dan kawatir akan kesia-siaan tempat yang dihuninya. Langit tak pernah firdaus baginya. Dulu langit suka bercermin padanya tetapi sekarang terhalang rimbunan pohon jeruk di pinggirnya yang semakin rapat daunnya karena matahari dan hujan tak putus-putus bergantian menyayanginya. Ia harus merawat daun yang karena tak kuat lagi bertahan lepas dari tangkainya hari itu sebelum subuh tiba. Ia harus merawatnya sampai benar-benar busuk, terurai, dan tak bisa lagi dikenali terpisah darinya. Ia pun harus habis-habisan menyayangi ikan itu agar bisa terus-menerus meluncur dan menggoyangnya. Air baru sebenar-benar air kalau ada yang terasa meluncur, kalau ada yang menggoyangnya, kalau ada yang berterima kasih karena bisa bernapas di dalamnya. Ia sama sekali tak suka bertanya siapa gerangan yang telah mempertemukan kalian di sini. Ia tak peduli lagi apakah berasal dari awan di langit yang kadang tampak bagai burung kadang bagai gugus kapas kadang bagai langit-langit kelam kelabu. Tak peduli lagi apakah berasal dari sumber jauh dalam tanah yang dulu pernah dibayangkannya kadang bagai silangan garis-garis lurus, kadang bagai kelokan tak beraturan, kadang bagai labirin.
Ia kini dunia.
Tanpa ibarat.
Hujan Turun Sepanjang Jalan
hujan turun sepanjang jalan
hujan rinai waktu musim berdesik-desik pelan
kembali bernama sunyi
kita pandang: pohon-pohon di luar basah kembali
tak ada yang menolaknya. kita pun mengerti, tiba-tiba
atas pesan yang rahasia
tatkala angin basah tak ada bermuat debu
tatkala tak ada yang merasa diburu-buru
Percakapan Malam Hujan
Hujan, yang mengenakan mantel, sepatu panjang, dan
payung, berdiri di samping tiang listrik. Katanya
kepada lampu jalan, “Tutup matamu dan tidurlah. Biar
kujaga malam.”
“Kau hujan memang suka serba kelam serba gaib serba
suara desah; asalmu dari laut, langit, dan bumi;
kembalilah, jangan menggodaku tidur. Aku sahabat
manusia. Ia suka terang.”
Membebaskan Hujan
ada yang ingin menjaring hujan dengan pepatah-petitih tua
yang tak lekang meski basah-
hujan buru-buru menghapusnya
ada yang ingin mengurung hujan dalam sebuah alinea panjang
yang tak kacau meski kuyup
hujan malah sibuk menyuntingnya
ada yang ingin membebaskan hujan dengan telapak tangan
yang jari-jarinya bergerak gemas-
hujan pun tersirap: air mata
*Setiap kali membaca setiap baris puisi Bapak Sapardi Djoko Damono, langit di hati saya selalu mendung, seolah hendak turun hujan. Akan tetapi, sekalipun mungkin hujan benar-benar turun tak terbendung, tetapi saya tidak khawatir karena firasat saya berkata, pelangi pasti tidak akan alpa muncul setelah hujan tersebut reda.
Sungguh, seperti rintik hujan yang turun tiba-tiba, merembes di rerumputan dan menguarkan aroma manis dari tanah yang lembab...Sendu sekaligus menyegarkan. Sangat membingungkan. Misterius.
No comments:
Post a Comment
please gave me your comment here^^