Hari ini adalah hari yang sudah lama sekali aku tunggu-tunggu. Hari ini para hakimku – yang jumlahnya tepat sepuluh orang – akan berangkat naik kereta api menuju ke negeri antah berantah dan sepertinya tidak akan kembali dalam waktu dekat karena aku bahkan tidak tahu dimana negeri antah berantah itu, demikian juga dengan mereka. Mereka bertanya-tanya padaku, kenapa mereka harus pergi ke tempat itu dan aku bilang mereka akan mengerti begitu mereka tiba di tempat itu. Mereka lalu bertanya lagi, dimana negeri antah berantah itu, dan aku jawab, aku tidak tahu.
Mereka mulai beradu mulut satu sama lain selama beberapa saat. Beberapa kali aku mendengar mereka sekilas menyebut namaku, tapi aku tahu yang mereka katakan tentangku pastilah hal yang tidak baik karena memang itu yang mereka lakukan sepanjang waktu. Semua hakimku memiliki postur tubuh yang tinggi dengan potongan yang sangat proporsional. Wajah mereka selalu terlihat licik dan angkuh. Semua hakimku adalah perempuan sempurna tanpa cacat cela. Mereka berotak cerdas, berwajah bak supermodel, berselera tinggi, berkantong tebal dan pintar bicara.
Beberapa dari mereka berkali-kali menyuruhku diam saat aku mencoba menginterupsi mereka dan yang lainnya tak henti-hentinya menudingku, berteriak “Kau bodoh!”, “Kau tak berguna!” “Payah!” dan “Tampangmu itu menyedihkan sekali!” di mukaku. Mereka tidak pernah bicara hal yang baik tentangku dan aku benci mereka karena mereka selalu kelihatan benar.
Tiba-tiba salah seorang dari mereka menyuruh hakim-hakim lain diam. Dia lantas mulai bergerak mendekatiku dan aku mulai merasa terintimidasi olehnya. Dia adalah hakim yang paling aku benci karena dia adalah hakim yang paling menarik, sempurna, langsing, cerdas sekaligus bermulut paling pedas di antara semuanya dan aku hampir tidak pernah bisa berkutik jika dia mulai menghakimiku. Dia adalah tipe perempuan yang pasti bisa muncul di sampul majalah mode Prancis atau Italia. Dia adalah yang paling glamor sekaligus paling keji di antara para hakim-hakimku yang lain.
“Jadi, kau akan mengirim kami ke negeri antah berantah, tempat yang kau sendiri tidak tahu, huh? Tapi ingatlah, suatu saat nanti kami akan kembali lagi, kau tahu, untuk menghakimi dirimu.”
“Ya, tapi aku yakin kalian tidak akan kembali secepat itu karena kau tahu, kalian harus pergi ke antah berantah, dan kita semua tidak tahu, dimana itu antah berantah.”
Hakim itu tersenyum licik. “Ya, tapi kami akan selalu bisa kembali padamu suatu saat nanti, dan bila kau lengah, kami akan langsung menghakimi saat itu juga. Kami akan merampas semua kepercayaan diri yang mungkin kau punya dan…”
Terlambat. Kereta mereka sudah tiba dan inilah satu-satunya kesempatanku. Aku menyeret koper-koper mereka dan berusaha mendorong mereka masuk ke kereta. Beberapa di antara mereka tidak mau beranjak dari kursiku, cerminku dan dari atas ranjangku.
“Ayo, cepat! Kereta kalian sudah tiba dan aku yakin kalian sangat benci terlambat!”
Mereka terlihat goyah. “Tapi…apa yang harus kami lakukan? Mengapa kami harus pergi ke antah berantah? Mengapa kami harus naik kereta ini sekarang?” mereka mulai mendesakku dengan pertanyaan-pertanyaan mereka.
“Karena kalau kalian tidak bergegas, kalian akan tertinggal SEGALANYA!!! Aku tahu kalian tidak ingin itu terjadi!”
Aku mendorong mereka satu persatu masuk ke dalam kereta. Aku kemudian berdiri dan melambaikan tanganku pada mereka yang perlahan-lahan menghilang di kejauhan bersama kereta yang bergerak. Mereka terlihat kebingungan dalam kereta api yang membawa mereka ke antah berantah.
Aku berdiri di sana penuh rasa puas dan lega karena sekarang para hakimku yang suka sekali menyudutkanku itu akan menghabiskan seluruh sisa hidup mereka untuk tiba di tempat yang bernama antah berantah, tempat yang kami sendiri tidak pernah tahu dimana persisnya.
bagusss..teruskan sobat :D
ReplyDeletehaha, terima kasiihh :))
ReplyDelete